Dulu, di
kampung, tetangga belakang rumahku memelihara banyak ayam. Suatu saat, nasi di
rumah kami bersisa, akhirnya basi. Kupikir, daripada nasi itu dibuang, lebih
baik kuberikan pada ayam-ayam tetanggaku. Sore itu juga kubawa nasiku ke
pekarangan belakang. Ayam-ayam itu masih berkeliaran di sana, belum masuk
kandang.
Kutebarkan nasi
itu di pekarangan. Ayam-ayam itu langsung berkotek riang dan mematuk nasiku
dengan senang. Kubiarkan ayam-ayam itu menyantap pakan tambahan dariku
sementara aku kembali ke rumah. Tak berapa lama, tetanggaku mengetuk pintu rumahku,
“Kamu yang memberi makan ayam-ayamku?” tanyanya dengan wajah dan nada bicara
yang sama tak enaknya.
“Iya,” kataku.
Satu kata dariku
saja, langsung membuat tetanggaku meledak, “Apa maksudmu memberi ayam-ayamku
nasi basi? Mau meracuni ayam-ayamku? Ayam-ayamku tidak pernah makan nasi basi,
tahu?!”
Saat itu aku
terhenyak. Tak ada niatku meracuni ayam-ayamnya. “Maaf,” hanya kata itu yang
terpikir olehku.
“Kamu bikin
pekarangan saya kotor sama nasi-nasi basi kamu itu,” semprotnya. Maafku pun
sudah tak didengarnya lagi. Maka saat itu juga, setelah ia puas marah-marah, aku
kembali ke pekarangan belakang. Ayam-ayam telah dimasukkan kandang, rupanya ia
begitu takut ayamnya keracunan nasiku. Sambil menyapu pekarangan tetanggaku,
aku berpikir, tidak semua niat baik ditanggapi dengan baik. Jadi sekarang, mau
berbuat baik saja aku harus mikir.
*Dikisahkan oleh
seorang teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar