slide

Sabtu, 27 April 2013

Cinderella Syndrome on Romance Novels


Image from google
Jadilah perempuan yang lemah lembut, baik hati dan penurut. Nanti, pangeran akan datang padamu, jatuh cinta, membawamu ke istananya yang megah lalu kalian hidup bahagia selamanya.

Yes, that's Cinderella story. Kisah ini udah ada bahkan bertahun-tahun sebelum gue bisa baca dan sampai sekarang kisahnya masih terus tercatat pada buku anak-anak. Bahkan, bertransformasi dalam bacaan-bacaan bergenre romance untuk memuaskan kerinduan perempuan-perempuan dewasa pada impian Cinderella saat kanak-kanak.
Cinderella adalah salah satu classic tale yang gue suka. Semasa kanak-kanak, gue percaya sama impian Cinderella, bahwa suatu hari semua perempuan akan bertemu dengan pangeran mereka, menikah dan hidup bahagia.
Gue nggak sadar bahwa dibalik impian Cinderella yang manis itu, menyusuplah makna-makna mengerikan. Bahwa Prince Charming hanya akan datang pada seorang yang benar-benar putri seperti Cinderela, si pengalah, baik hati dan lemah lembut. Well, zaman sekarang kalau gue jadi si pengalah terhadap segala ketidakadilan dan menerima kejahatan yang terjadi pada diri gue, mungkin gue udah mati sebelum pangeran datang.
Pangeranlah yang memberikan kebahagiaan. Cinderella hanya perlu menunggu. Pemikiran yang muncul kemudian, berarti kebahagiaan perempuan terdefinisikan dari kedatangan laki-laki yang bisa mewujudkan impiannya. Dengan pengharapan ini, maka perempuan akan menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada laki-laki. Laki-laki yang akan mengerjakan semuanya untuk kebahagiaan perempuan. Wow, what a beautiful life. Kenyataannya, kasus-kasus KDRT justru terjadi pada rumah tangga yang istrinya tergantung (terutama finansial) pada suaminya.
Sepanjang yang gue tahu, kebahagiaan itu adalah sebuah hasil dari proses kerja keras. Gue nggak bisa mengharapkan orang lain untuk melakukan semua yang gue mau demi membahagiakan gue. Tentu ini nggak berlaku bagi perempuan yang punya pasukan berani mati; papa titisan sinterklas, mami yang semacam ibu peri dan pacar berstatus pangeran dari negri serba ada.

Dan ternyata kecenderungan mental perempuan yang menggantungkan kebahagiaan pada laki-laki ini memang ada, mereka takut berjuang untuk kemandirian dan lebih suka menunggu pasangannya untuk menyelamatkannya. Collete Dowling menyebut kecenderungan ini sebagai Cinderella Syndrome atau Cinderella Complex.
Menurut hasil search penelitian sana-sini, Cinderella Syndrome ini  disebabkan oleh pola asuh orang tua yang terlalu memanjakan anaknya. Lalu terbentuklah pola pikir pada anak bahwa akan selalu ada orang mewujudkan semua impiannya. Jadi, anak akan menolak untuk mandiri dan menjadi dewasa.

Lalu bagaimana dengan novel-novel bergenre romantis yang banyak menyisipkan impian Cinderella di dalamnya? Sebanyak apakah itu berperan?  Belum pernah baca penelitiannya, tapi kalau gue asumsikan bahwa bahwa media, termasuk buku yang kita konsumsi mempengaruhi pemikiran kita dan fiksi meski kadang tak berperan dalam transfer pengetahuan, tapi sering efektif dalam transfer nilai kehidupan. Maka hipotesis gue, perempuan-perempuan pembaca novel romance pun kena terpaan syndrom ini. Seberapa besar? tentu mesti diukur lagi dengan indikator-indikator seperti seberapa sering terpaan media tersebut terjadi, tingkat pendidikan, usia, dll.
Gue rasa, gue sendiri nggak bisa disuruh berhenti baca novel romance, yang bermuatan Cinderella Syndrome sekalipun. Jadi yang gue bisa adalah membedakan antara realitas dan fiksi. Novel romance itu jadi semacam dunia lain tempat escape saja. Ketika tutup buku, maka realitaslah yang akan bicara.

Untungnya sekarang banyak juga novel-novel romance yang plotnya nggak selalu menggantungkan happy ending dengan kedatangan si laki-laki. Gue suka tokoh perempuan yang tahu apa yang dia mau dan ada usaha mengejar apa yang dia mau, terlepas dari cara apa yang dia lakukan. Gue suka, bahkan ketika si tokoh si perempuan itu 'jalang', jauh dari sifat Cinderella.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar