Jadilah perempuan yang lemah lembut, baik hati dan penurut.
Nanti, pangeran akan datang padamu, jatuh cinta, membawamu ke istananya
yang megah lalu kalian hidup bahagia selamanya.
Cinderella adalah
salah satu classic tale yang gue suka. Semasa kanak-kanak, gue percaya
sama impian Cinderella, bahwa suatu hari semua perempuan akan bertemu
dengan pangeran mereka, menikah dan hidup bahagia.
Gue
nggak sadar bahwa dibalik impian Cinderella yang manis itu, menyusuplah
makna-makna mengerikan. Bahwa Prince Charming hanya akan datang pada seorang
yang benar-benar putri seperti Cinderela, si pengalah, baik hati dan
lemah lembut. Well, zaman sekarang kalau gue jadi si pengalah
terhadap segala ketidakadilan dan menerima kejahatan yang terjadi pada
diri gue, mungkin gue udah mati sebelum pangeran datang.
Pangeranlah
yang memberikan kebahagiaan. Cinderella hanya perlu menunggu. Pemikiran
yang muncul kemudian, berarti kebahagiaan perempuan terdefinisikan dari
kedatangan laki-laki yang bisa mewujudkan impiannya. Dengan pengharapan
ini, maka perempuan akan menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada
laki-laki. Laki-laki yang akan mengerjakan semuanya untuk kebahagiaan
perempuan. Wow, what a beautiful life. Kenyataannya, kasus-kasus KDRT justru terjadi pada rumah tangga yang istrinya tergantung (terutama finansial) pada suaminya.
Sepanjang
yang gue tahu, kebahagiaan itu adalah sebuah hasil dari proses kerja
keras. Gue nggak bisa mengharapkan orang lain untuk melakukan semua yang
gue mau demi membahagiakan gue. Tentu ini nggak berlaku bagi perempuan
yang punya pasukan berani mati; papa titisan sinterklas, mami yang
semacam ibu peri dan pacar berstatus pangeran dari negri serba ada.
Dan
ternyata kecenderungan mental perempuan yang menggantungkan kebahagiaan
pada laki-laki ini memang ada, mereka takut berjuang untuk kemandirian
dan lebih suka menunggu pasangannya untuk menyelamatkannya. Collete
Dowling menyebut kecenderungan ini sebagai Cinderella Syndrome atau
Cinderella Complex.
Menurut hasil search
penelitian sana-sini, Cinderella Syndrome ini disebabkan oleh pola
asuh orang tua yang terlalu memanjakan anaknya. Lalu terbentuklah pola
pikir pada anak bahwa akan selalu ada orang mewujudkan semua impiannya. Jadi, anak akan menolak untuk mandiri dan menjadi dewasa.
Lalu
bagaimana dengan novel-novel bergenre romantis yang banyak menyisipkan
impian Cinderella di dalamnya? Sebanyak apakah itu berperan? Belum
pernah baca penelitiannya, tapi kalau gue asumsikan bahwa bahwa media,
termasuk buku yang kita konsumsi mempengaruhi
pemikiran kita dan fiksi meski kadang tak berperan dalam transfer
pengetahuan, tapi sering efektif dalam transfer nilai kehidupan. Maka
hipotesis gue, perempuan-perempuan pembaca novel romance pun kena
terpaan syndrom ini. Seberapa besar? tentu mesti diukur lagi dengan
indikator-indikator seperti seberapa sering terpaan media tersebut
terjadi, tingkat pendidikan, usia, dll.
Gue rasa, gue
sendiri nggak bisa disuruh berhenti baca novel romance, yang bermuatan
Cinderella Syndrome sekalipun. Jadi yang gue bisa adalah membedakan
antara realitas dan fiksi. Novel romance itu jadi semacam dunia lain
tempat escape saja. Ketika tutup buku, maka realitaslah yang akan bicara.
Untungnya sekarang banyak juga novel-novel romance yang plotnya nggak selalu menggantungkan happy ending dengan kedatangan si laki-laki. Gue suka tokoh perempuan yang tahu apa yang dia mau dan ada usaha mengejar apa yang dia mau, terlepas dari cara apa yang dia lakukan. Gue suka, bahkan ketika si tokoh si perempuan itu 'jalang', jauh dari sifat Cinderella.
Untungnya sekarang banyak juga novel-novel romance yang plotnya nggak selalu menggantungkan happy ending dengan kedatangan si laki-laki. Gue suka tokoh perempuan yang tahu apa yang dia mau dan ada usaha mengejar apa yang dia mau, terlepas dari cara apa yang dia lakukan. Gue suka, bahkan ketika si tokoh si perempuan itu 'jalang', jauh dari sifat Cinderella.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar